-
Klaten | BNRI NEWS
Jika Anda sedang berwisata ke Klaten, tak melulu harus mengunjungi tempat yang memiliki pemandangan yang indah. Saat berwisata ke Klaten, Anda juga bisa mengunjungi tempat-tempat yang bisa menambah pengetahuan dan pengalaman, misalnya ke desa wisata, cagar budaya, museum atau sentra-sentra kerajinan.
Berbicara tentang sentra kerajinan, jika Jogja memiliki Desa Kasongan sebagai sentra kerajinan gerabah, maka di Klaten juga memiliki Desa Melikan sebagai saingannya. Ada yang unik di Desa Wisata Melikan, disini sangat terkenal sebagai sentra kerajinan gerabah yang dalam proses pembuatannya menggunakan teknik putaran miring
Walaupun secara administratif Desa Wisata Melikan berada dalam Kecamatan Wedi, namun gerabah yang dihasilkan sering disebut sebagai gerabah Bayat. Menurut masyarakat sekitar, adanya tradisi pembuatan gerabah di Bayat tidak terlepas dari peran Sunan Pandanaran atau yang sering juga disebut sebagai Sunan Tembayat atau Pangeran Mangkubumi, Beliau merupakan tokoh penyebar agama Islam di Kabupaten Klaten, khususnya di Bayat. Beliau merupakan putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang.
Teknik Putaran Miring dalam pembuatan gerabah dengan menggunakan roda putar datar sebenarnya banyak dijumpai di berbagai daerah, tetapi bila Anda berkunjung ke Bayat, Anda akan menemui hal yang sedikit berbeda dari biasanya. Roda putar yang mereka gunakan tidak datar (horisontal), melainkan dimiringkan beberapa derajat ke depan sehingga teknik pembuatannya disebut teknik putaran miring.
Lalu mengapa masyarakat Bayat menggunakan teknik putaran miring ini dalam membuat gerabah? Menurut keterangan dari Bapak Sumilih, Ketua Desa Wisata Melikan, teknik ini digunakan dikarenakan dahulu banyak pengrajin gerabah berasal dari kaum perempuan, dimana perempuan jaman dahulu masih memakai pakaian adat jawa yaitu dengan menggunakan kebaya dan kain jarik. Untuk menjaga kesopanan, para perempuan ini menggunakan teknik putaran miring yang mengharuskan mereka duduk miring. Dengan posisi miring seperti itu, mereka menjaga etika kesopanan dengan tidak membuka paha ketika bekerja. Ditambah lagi, secara ergonomis, teknik putaran miring memberikan kemudahan kaum perempuan yang memakai kain jarik panjang untuk bekerja karena mereka tidak harus menekuk kakinya
Karena keunikannya itu menarik perhatian guru besar fakultas Seni Kyoto Seika University di Jepang untuk mempelajari gerabah Bayat. Professor tersebut bernama Chitaru Kawasaki datang ke Melikan pada tahun 1992 untuk meneliti tentang teknik putaran miring karena di sini merupakan satu-satunya daerah yang menggunakan teknik ini. Beliau juga mendirikan laboratorium gerabah didaerah tersebut dan beliau juga yang menggagas berdirinya SMK jurusan seni kerajinan pertama di Indonesia bersama yayasan Titian Foundation dan Qatar Foundation, yang pada 2009 lalu sudah diresmikan, yaitu SMK N 1 ROTA (Reach Out To Asia) Bayat.
Apabila Anda tertarik untuk datang dengan keluarga atau kelompok mengunjungi laboratorium gerabah, Anda diharapkan membayar Rp. 12.000, 00 per orang apabila jumlahnya dibawah 50 orang dan Rp. 10.000, 00 apabila jumlahnya diatas 50 orang. Dengan biaya tersebut, rombongan akan dibawa berkeliling desa melihat langsung pengrajin gerabah. Setelah berkeliling, mereka akan diajarkan cara membuat gerabah menggunakan teknik putaran datar disertai cara menghias gerabahnya. Mereka juga akan dipertunjukkan cara membuat gerabah dengan menggunakan teknik putaran miring. Selesai bersenang-senang membuat gerabah, mereka dapat membawa pulang hasil gerabah yang mereka buat dan juga mendapat tambahan souvenir sebuah celengan cantik untuk setiap pengunjung.
(Red/Alfian Aziz)