-
Depok | BNRI NEWS
Belum lama ini publik digaduhkan dengan hadirnya wacana untuk menunda Pemilu Presiden 1-2 tahun yang semula telah dijadwalkan pada tahun 2024.
Tetapi banyak pihak dari berbagai kalangan menanggapi negatif wacana itu karena akan memperpanjang jabatan Presiden yang bertentangan dengan UUD 1945.
Hal inilah turut merespon kritik keras dari Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Muda Airlangga Didit Sandra menganggap wacana penundaan pemilu sebagai bentuk pelecehan atas konstitusi.
Didit Menilai , partai-partai koalisi pemerintah (PKB, Golkar, PAN, Nasdem, PPP), menyatakan dukungannya bagi penundaan pemilu 2024. Namun, baru PDI Perjuangan yang secara terbuka menyatakan penolakannya, yang belum tahu juga apakah tetap bisa bertahan dan tidak tergoyahkan.
Menurutnya, penundaan pemilu berarti otomatis perpanjangan jabatan presiden dan parlemen serta kepala daerah. "Ini adalah perkembangan yang seharusnya tidak terjadi, sekaligus potret buruk dari wacana yang tidak mendidik, karena itu harus pula ditanggapi dengan serius dan cepat," terang Didit Jum'at (04/2).
Wacana penundaan pemilu, lanjut ia, sebenarnya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan atas konstitusi (contempt of the constitution).
Dalam teori ketatanegaraan pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara.
Ia menyebut sejarah Indonesia mencatat, pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai salah satu pelanggaran konstitusi yang akhirnya diakui menjadi sumber hukum bernegara yang sah dan berlaku.
Namun alasan pelanggaran konstitusi harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia (for the sake of the nation and the people).
"Ukurannya adalah dampak dari tindakan pelanggaran konsitusi harus semata-mata demi menyelamatkan negara bangsa," ujar Didit.
Namun, indikator penting lainnya adalah pembatasan kekuasaan (limitation of power) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar-pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.
Maka, Pakar Hukum Tata Negara ini menilai, dengan parameter demikian, menunda pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden memperpanjang masa jabatan parlemen dan kepala daerah secara nyata adalah potret pelanggaran konstitusi yang berjamaah.
Karena itu, lanjut Didit, lebih didasari pada dahaga atas kekuasaan semata (machtsstaat) dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum (rechtsstaat).Kalaupun prosedur perubahan konstitusi dilakukan, maka perubahan yang dilakukan dengan melanggar prinsip konstitusionalisme yang pondasi dasarnya adalah pembatasan kekuasaan, adalah batal demi konstitusi itu sendiri (constitutionally invalid).
"Ini sama sekali tidak boleh konstitusi diubah untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi, apalagi disalah gunakan untuk memperbesar kekuasaan, yang justru seharusnya dibatasi oleh konstitusi itu sendiri," ucap ia.
Terlebih, konstitusi disalahgunakan untuk memberikan legitimasi, atas penumpukan kekuasaan yang sejatinya melanggar dengan maksud tujuan hadirnya hukum dasar konstitusi. Kalau rencana pelecehan massal konstitusi ini terus dilanjutkan, kata ia, maka kita sebagai anak bangsa harus berteriak lantang untuk menolaknya.
Didit kemudian mendorong masyarakat untuk menyadarkan elit negeri bahwa konstitusi harus dihormati, bukan dilecehkan. Seharusnya Presiden Jokowi, sebagai Kepala Negara harus segera meluruskan pelanggaran serius ini
"Itu kalau Beliau serius dengan sumpah jabatannya di atas Al Qur’an untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya. Dan jika beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang jusru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut," tandas pemuda berdarah Jawa ini.
Elemen masyarakat, menurut ia, tidak boleh membiarkan kesalahan mendasar ini dan harus melakukan konsolidasi dan penolakan keras. "Jangan sampai kita terlambat, hingga yang melakukan pelurusan sejarah adalah hukum alam-sunatullah," pungkas Didit.
Eshadi